Buya Hamka lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Minanjau, Sumatera Barat, dan wafat di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, kemudian lebih akrab disapa dengan akronim HAMKA. Belakangan ini ia diberi sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Ishlah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA (1908 – 1981) adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang sangat terkenal di jagad Nusantara. Beliau mendapatkan pendidikan formal pertama kali di Sekolah Dasar Minanjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Disitulah HAMKA mempelajari agama dan mendalami Bahasa Arab. Selain itu, HAMKA juga banyak berguru kepada ulama – ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
HAMKA mula -mula berprofesi sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951hingga tahun 1960 beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam polotik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Kepribadian Buya HAMKA
HAMKA adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zakky Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al -Aqqad, Mustafa Al – Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar – tukar pikiran dengan tokoh – tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadi Kusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantiknya sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi kemudian beliau meletakkan jawatan tersebut pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai Serekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan penjajah Belanda yang kembali ke Indonesia , melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan Medan. Pada tahun 1947, Hamka dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliaub menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pamidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudian diharamkan oleh perintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka telah dipenjarakan oleh presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan beliau menulis tafsir Al – Azhar ( 5 jilid ) yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, Hamka menjadi wartawan dibeberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1923, beliau menjadi editor dan penerbitan majalah al – Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Rakyat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Selain menghasilkan karya ilmiah, karya – karya kreatif seperti cerpen dan novel juga lahir dari tangannya. Diantara novel – novelnya yang telah mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura antara lain, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugrah pada peringkat nasional dan antarbangsa seperti anugrah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al- Azhar, 1958, Doctor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974 dan gelaran Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia. Hamka pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
PS 1A 2008/2009
Selengkapnya.....