PENDUDUK LANGIT

“Lalu Ali bin Abi Thalib menyalami seluruh jamaah haji dari negeri Yaman. Tapi hanya rasa kecewa yang ia bawa pulang. Seseorang yang telah lama ia cari, tak jua ia dapati. Sungguh ia tak menyerah begitu saja. Ia kembali pada hari berikutnya, mengamati sekali lagi seluruh jamaah haji dari negeri Yaman. Barang kali saja ada jamaah haji yang tercecer dan terlewati yang belum ia salami.”

“Aagh...sial!” celetukku pada ranting pohon Gayam sebesar sendok makan menimpa kepalaku. Membuyarkan lamunanku pada isi kultum pagi tadi. Entah bagaimana bisa, Mbah Syu’eb yang sudah renta itu mampu menyihir setiap gendang telinga yang terbuka dengan tutur katanya. Hingga masih membekas jelas dalam benakku.


Kini dudukku kembali damai setelah sedikit terusik oleh ranting lapuk itu.

“Matanya tertuju pada sebuah tenda milik jamaah haji dari negeri Yaman. Lantas Ali menghampiri seorang laki-laki, tukang masak air. Ia berpakaian sangat sederhana, berkulit kelam, berambut gimbal –mungkin seperti rambutnya orang gila yang kerap melintas di depan sekolahku dulu- . Anehnya, ia tak mau bersalaman dengan Ali. Sekalipun hanya di tanya namanya saja, ia menjawab, lupa. Untuk kesekian kali Ali memohon ingin sekali saja bersalaman denganya, luluh juga hatinya. Ia terperanjat riang bukan mimpi, orang yang bertahun-tahun ia cari, kini telah ia temui. Qornun sang penduduk langit!. Yang memancarkan cahaya putih dari telapak tangannya, yang dianugerahi keistimewaan oleh Tuhan selalu terijabahi do’a-do’anya.”

“Yukab,Yukab..!”

“Iya kek!” suara kakek membuatku loncat dari tempat dudukku. Sekaligus menutup lamunan ‘baikku’ tadi.

“Kenapa kau bermalas-malasan di bawah sana? Bantu kakek sini!” perintah kakekku dari atas pohon Trembesi yang sudah berumur puluhan tahun. Ia tergolong spesies tertua dalam siklus kehidupan di hutan ini.

“Baiklah kek,maafkan Yukab..” aku segera memunguti kayu-kayu yang berserakan, yang di jatuhkan kakek dari atas pohon.

“Kalau kau tak mau mati kelaparan, kau harus rajin bekerja bantu kakek”

Aku hanya membisu mendengar nasihatnya sembari tak berhenti memunguti kayu-kayu. Kata-katanya lugu, jujur, apa adanya. Tak ada majas atau kiasan. Mungkin baginya tak perlu ada yang di analogikan. Hanya saja, kadang ada sedikit bumbu parikan Jawa kuno yang di keluarkan. Sering tak ku mengerti. Aku selalu menerka, penduduk pribumi Homo Saphien di Sangiran saja yang mengerti.

Sebenarnya aku tak tahu, ia benar kakekku atau bukan, yang ku tahu, aku tak pernah bertemu dengan seseorang yang kupanggil ayah dan ibu. Tapi, aku tak pernah menyesal terlahir kedunia. Aku cukup berterima kasih pada Tuhan, memiliki kakek sepertinya. Bagaimanapun juga, ia telah merawatku hingga dewasa. Walaupun ia hanya seorang penjual kayu bakar keliling, dan tak banyak uang yang bisa kami kumpulkan. Cukup untuk mengepulkan asap dapur saja kami sudah bersyukur.

“Sudah berapa ikat kau kumpulkan kayu-kayu itu, nak?”

“Banyak kek, ada sepuluh ikat”

“Bagus,kakek turun sekarang”

Kakek segera turun dari pohon Trembesi, diiringi lantunan adzan ashar yang menggema dari sebuah surau tua di pinggir hutan ini. Sesampainya dibawah, kakek membantuku mengumpulkan kayu-kayu yang tersisa, lalu menaikkan dan menatanya di atas pedati.

“Heerrr..!” sebentar kemudian, kakek mulai mengendalikan sapi-sapi bergegas meninggalkan hutan. Aku duduk manis di sampingnya. Kami takut kemalaman. Tak jarang, kami berebut senja dengan kegelapan. Sebab, bila senja telah purna, serigala dan anjing-anjing hutan mulai berkeliaran mencari mangsa. Kami tak ingin mati sia-sia sebagai santapan makan malam penghuni rimba hutan.

“Kek, kakek tidak lapar?” tanyaku mencoba memecah keheningan.

“Tidak, kakek sudah terbiasa tidak makan siang. Sepertinya, nenek di rumah sudah menyiapkan ubi rebus untuk menyambut kita”

Aku hanya tertawa kecil. Kakek seakan-akan mendengar cacing-cacing di dalam perutku sudah menggeliat, merengek meminta suapan ubi jalar. Tapi, ia sering meleset bila menebak isi kepalaku.

“Em.., kakek masih ingat isi kultum mbah Syu’eb tadi pagi?”

“Masih. Bercerita tentang penduduk langit, bukan?” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

“Kakek percaya, ia masih hidup?”

Kakek hanya tersenyum, lalu kembali bercengkrama dengan sapi-sapinya.

“Aku ingin bertemu penduduk langit, kek” kali ini aku tak tahu mimik kakek seperti apa. Aku tak mau melihatnya. Dalam bayanganku ia kembali tersenyum.

“Aku memiliki permohonan kek. Aku berharap bila bertemu dengan penduduk langit, ia dapat membantu mengantarkan do’a-do’aku itu pada Tuhan. Setelah itu, ia kembali menemuiku dan menyampaikan kwitansi dari Tuhan yang sudah tertera tulisan:DIKABULKAN”

Sekarang kakek tak hanya tersenyum, lebih dari itu ia tertawa mendengar kata-kataku. Mungkin baginya itu hanya kata-kata konyol bak bermimpi di siang bolong.

“Kalau kau ingin berdo’a, langsung saja kau utarakan maksudmu pada Tuhan. Tak usah bersusah payah kau cari penduduk langit. Ia bukan pegawai pos yang sudi mengantarkan surat-suratmu pada Tuhan”

Huh..kakek tak mengerti apa keinginanku. Aku malu, bila harus mengutarakannya langsung kepada Tuhan. Terlalu tebal dosa yang telah ku timbun.

“Atau siapa tahu kau adalah...”

“Bukan. Bukan kek, Yukabad hanyalah seorang gadis desa, satu-satunya cucu kakek”

Kakek semakin terkekeh-kekeh menertawakanku.

Jikalau aku penduduk langit, tak mungkin Raja Langit membiarkanku terjerembab dalam telaga madu pagi itu.

Andai kakek tahu, aku ingin bertemu dengan penduduk langit hanya ingin mendapatkan kwitansi dari Tuhan. Atau paling tidak aku mendapatkan asuransi do’a, bilamana ada sehelai pintaku yang terhempas.

Tak banyak, aku hanya ingin Raja Langit berkenan agar lembaran yang hitam sebab basah oleh madu yang kami -aku dan teman nafasku, Imran- nikmati bersama pagi itu kembali putih. Sepenuhnya kami sadari, madu yang kami temukan di pinggir jalan yang masih gelap kala itu, belum menjadi “haknya”. Dan tentu saja belum menjadi “kewajibanku” turut tenggelam dalam kenikmatannya. Bagaimana tidak, “majlis Ta’lim” saja belum di gelar, tapi kami sudah membuka “orasi”?!.

Haruskah ku basahi seluruh tanah bukit Thursina dengan tetes air mata?, bila jeritan hati kami tak cukup untuk menuai kembali hangatnya senyum-Mu. Kami ingin kembali mencium bau Kasturi di pekarangan rumah kami. Biar kelak tak ada darah daging kami yang harus meneguk getah Butrawali kembali.

Telagatirta, Ramadhan 1929 H


Selengkapnya.....

mukadimah

ujarnya, tersimpan sayang berlipat-lipat di balik diamku, terangkum kasih beribu masa di dalam senyumku yang malu-malu

sapa menyapa


ShoutMix chat widget

berkejar kejaran