Di Atas Mata Remaja

Jebres . . . Jebres . . .!
Yang Jebres siap-siap . . .!
Penjual minuman begitu sigrak berteriak

Aku memotong perjalanan ini
Sampai di sini
Tapi tidak untuk nadimu
Nadiku, nadi rindu
Kuberi paru kiri
Berat berurat
Berlipat-lipat erat
Lekat dan lumat

Empat mata bertatap
Empat tangan mendekap
Seribu peluru menderu
Sampaikan rinduku
Pada langit kotamu

Kamar baru, 5 Juli 09 Selengkapnya.....

Dalam Sunyi Pagi

Pagi yang tersenyum. Simetris bagai bulan sabit perak. Indah merekah. Aku masih menyimpan sekotak bunga dalam hati. Meskipun negeriku sedang dilanda musibah yang tak berkesudahan. Duka–lara–derita–ronta–merana–sengsara, bak sebuah tongkat estafet yang tak kunjung menemukan garis finish sebagai titik terang. Singkat cerita, nyawa pribumi jelata yang melayang. Sementara kasta darah biru yang menisbahkan dirinya sebagai pengayom rakyat, berseri-seri selepas menyaksikan drama yang baru saja ditayangkan, negeri terluka. Mereka yang selalu necis dengan dasi, tak puas dengan lima bini, berkawan pula dengan wisky cekikikan di sudut kamar hotel-hotel pencakar langit. Miris.

Kusaksikan orang-orang desa mulai bergerak menuju pasar dan ladang-ladang mereka tempat mengais rezeki. Perekonomian mulai berdenyut. Roda kehidupan perlahan berputar. Kusapa The Forever yang terparkir di beranda rumah. Lalu aku mengayuhnya menuju ladang milik eyang di tepi desa. Terus menerobos kabut yang menggelanyut sepanjang lorong jalan desa. Angin pagi sepoi-sepoi basah agak nakal menjilati leherku. Sehingga membuatku mengangkat bahu tinggi-tinggi. Masih kutemui jejak keganasan embun tadi malam. Dedaunan menggigil karenanya. Sesampainya di ladang, kusampaikan senyum rindu padanya. Debur di hatiku menggerakkan sepasang kaki untuk segera menelusuri pematang. Padi, Jagung, dan Kedelai sudah mulai bunting. Semangka yang menjalar indah sudah tampak menyusui anaknya. Aduhai damainya hatiku memandangnya. Kulukis senyum petani, lalu kugantungkan di atas langit-langit desa.

Baru saja aku melangkah beberapa jengkal, sederet tanaman menyita perhatianku dan memaksaku menghampirinya.



“Alamak...hama macam apa pula ini?” tanyaku pada udara yang bergerak. Aku menggeleng, tak kudapati jawaban. Pandanganku disita segerombol tanaman yang layu sayu.Terdiam ia memaku.

Aku sedikit terhibur, ketika sebuah gubuk tua mampu membuka kenangan silamku. Tanpa pikir panjang kudatangi gubuk tua seusiaku itu, dengan plastik berbalut dhami usang kecoklatan sebagai atapnya. Dulu sewaktu duduk di bangku SD memang bandel. Tapi tak sampai kuraih predikat mbeling. Aku mempunyai sebuah gank, beranggotakan delapan orang cewek. Secara alami aku terpilih sebagai ketua. Tujuh tahun silam, setiap pulang dari sekolah, kami selalu naik sepeda berjajar dua-dua berbanjar panjang ke belakang. Ada satu hal yang unik, anak laki-laki tak satupun yang berani mendahului kami. Aku tak tahu mengapa. Setiap kali aku menyambar wajah mereka dengan satu kali tatapan saja, mereka serentak menunduk tanpa diberi aba-aba. Seakan-akan mereka menganggapku seperti seekor elang, yang bermata tajam dan selalu siaga menerkam anak-anak ayam. Aku tak tahu pasti. Hmm...di atas gubuk ini pula aku dan kawan-kawan bermain, bercanda, bertukar cerita, hingga belajar menghafal nama spesies ganggang hijau, jenis hibrida, Pythagoras, perjanjian Linggarjati, dan mendiskusikan galaksi Bima Sakti. Namun, semua tinggal sejarah masa kecil kami yang lugu dan harum. Kini, gubuk ini telah sepi tanpa derai tawa kami.

“Pyuk, pyek, pyik..eu..” sesayup suara menyusup dan menyesaki telingaku. Bola mataku tertuju pada satu arah di ujung ladang ini. Sepertinya sekumpulan orang sedang membicarakan masalah yang serius, pikirku. Demi memenuhi rasa penasaran yang menimbulkan banyak tanda tanya di tempurung kepala, aku melangkah mendekati mereka.

“Wilujeng enjang, Pak Dhe,” sapaku pada orang yang seumuran pamanku.

“Nggih, iki sopo?” semua orang menatapku.

“Kulo Ning, wayahipun tiyang ingkang gadhah tegalan meniko.”

“Ooo... sing kuliah neng Jakarta kae? Wis gedhe sak iki, Pak Dhe dadhi pangkling”

“Leres, Pak Dhe.”

“Berarti ngomonge nganggo boso Indonesia hehehe?” kelakarnya riang.

“Kamu cucunya Mbah Syawal tho?” sambung yang lainnya.

“Iya pakdhe. Kenapa pagi–pagi begini pada kumpul di sini?”

“Kami sedang meratapi nasib, Ning.”

“Maksud jenengan?”

“Di dusun kita ini sedang dilanda musim paceklik. Padi tak tumbuh, singkong tak berbuah, perkebunan tebu di selatan desa juga ludes di tangan tengkulak. Tak ada sepeserpun receh kami kantongi dan kami tak sudi makan batu!” nadanya sedikit meninggi. Aku tercengang.

“Semua tanaman di ladang telah musnah diamuk hama, mungkin di musim rendheng ini para petani akan gagal panen?” lanjutku kemudian. Mereka tersenyum kecut.

“Kenapa Pak Dhe-Pak Dhe tak melapor ke Kabupaten saja? Bupati kita pasti bisa membantu.”

“Kami sudah tak percaya pemerintah!”

“Kenapa begitu? Bukankah tak semua aparat itu keparat? Dan tidak semua orang yang duduk di kursi pemerintahan itu tidak menggubris keluhan pribumi. Semua itu tak seburuk yang kita angankan. Percayalah Pak Dhe, meskipun kita bukan priyayi, masih ada orang yang berhati lunak dan peduli sama kita?” bertubi-tubi aku meyakinkan mereka.

“Kamu yakin? Bersemangat sekali tampaknya kamu, Ning?” Sebuah pertanyaan yang cukup melemahkanku.

“Tapi, jika panen kali ini gagal total, bukankah lumbung desa akan kosong Pak Dhe?”

“Kamu takut kelaparan Ning?”

“Ee...”

“Lumbung desa kosong, bukan masalah besar bagi kami. Kami lebih tak senang bila pemerintah benar-benar menjalankan rencana mereka tahun ini. Kami tak sepakat kalau kita ekspor beras, selama busung lapar masih merajalela. Sebenarnya stok beras di Bulog itu melimpah. Kami tidak buta, yang bisa dikempongi begitu saja!”

Ada dada yang membara. Aku ingin berkata-kata, tapi tertahan di rongga.

“Mereka membeli hasil bumi kami dengan harga seucrit, kemudian menjualnya kembali kepada rakyat dengan harga segunung. Keringat kami hanya dibayar dengan gaplek, tiwul, dan teri busuk! Mereka punya hati, tapi mati rasa. Mereka tak mau tahu perjuangan kami melawan wereng, belalang, ulat, kepik, keong sawah, dan sundhep.”

“Tapi, kalau menurut saya dengan ekspor beras akan menambah sumber pendapatan negara lho. Nah, sebagiannya lagi akan disalurkan untuk pembangunan jalan, jembatan dan fasilitas lainnya. Jika fasilitas sudah mapan, semua akan kembali pada kita dan kita ikut menikmatinya”

“Fasilitas apa, Cah Ayu? Paling-paling kami dapat buntutnya. Dan buntut yang selama ini kami nikmati ya hanya buntut wedus, hahaha,” tawa mereka berderai memecah kesunyiaan pagi.

“Yang jelas, kami tak ingin tertawa di atas penderitaan saudara-saudara kami”

Aku menunduk, mengangguk.

“Ning, kami juga kecewa dengan penurunan harga BBM yang mepet pemilu. Kok dengan bangganya sebuah partai mengaku-aku sebagai prestasinya. Meskipun kami pribumi, tapi tidak tuli. Mbok setiap tahun saja pemilunya, biar tiap tahun turun BBM!” katanya meletup-letup.

“Kami tambah muak dengan janji yang diobral partai-partai. Katanya mau menurunkan harga BBM lebih dari tiga kali. Alah...gombalan macam apa itu?! Negeri Jiran saja bisa menurunkan BBM sepuluh kali, mengapa negara kita yang kaya minyak dan hasil tambang melimpah ruah tidak bisa melebihinya?” timpal yang lain.

“Ya sudahlah Pak Dhe, kalau semua masalah negara kita bahas satu-persatu ndak akan tuntas dengan sekali berdiri. Kita ini rakyat kecil yang hanya bisa berdoa dan berharap agar negara ini makmur sentosa. Meskipun masih banyak masalah negara yang menggantung, semisal korupsi, kasus TKI dan lainnya.”

“Lha itu dia, Ning. Kenapa masalah itu ndak pernah ada selesainya? Pemerintah seolah-olah lepas tangan. Kemudian ditutup-tutupi pakai janji-janji. Kami wong cilik ndak butuh janji, tapi bukti. Kalau mereka bisa segara memenuhi janji dan kasih bukti, kami ya tulus ngabekti sak jeroning ati.”

”Lantas besok mau nyontreng siapa, Pak Dhe?” tanyaku.

“Yang pasti kami akan nyontreng yang nggak main suap. Harga diri kami merasa diinjak-injak jika ada yang nyogok kami dengan duit untuk memilih dia. Heran juga, jumlah parpol kok sampai menjamur, coba saja kalau parpol-parpol yang baru seumur jagung itu bersatu, pasti lebih kuat.”

“Siip! Tapi memang setiap partai punya kepentingan sendiri-sendiri, terkadang manusia itu sangat ambisius. Hmm, kita kembali memikirkan ladang saja Pak Dhe, bagaimana? Eh, saya ada satu tawaran nih.”

Mereka nampak serius, mengerutkan dahi.

“Begini, kalau Pak Dhe-Pak Dhe ndak mau melapor ke Kabupaten, biar saya saja yang bilang sama abah saya. Nanti tindak lanjutnya, abah saya bersama orang-orang kampung gotong royong memberantas hama. Bagaimana Pak Dhe?” Mereka tersentak.

Lalu terjadi saling pandang di antara mereka. Seperti ada yang disembunyikan.

Sragen Asri, 9 Februari 2009

Selengkapnya.....

Senja di Balik Kamboja

Solo sudah tampak di depan mata. Avanza yang kukendarai mulus melaju di tengah gerimis, menyapu debu-debu jalanan. Solo bagiku adalah kota seribu kenangan. Enam tahun sudah aku hidup di kota ini. Suka berbalur duka, cinta bertaut lara kugenggam dalam tanganku yang rapuh. Biarkan segalanya menjadi cerita di hari tua.

Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk. Langsung saja teman mungil itu kukeluarkan dari saku.

“Salam. Alhamdulillah sudah sampai di kotaku, selamat bercengkrama dengan sanak keluarga ya. Btw, bawa oleh-oleh ap nih?” sambut Zul dengan deretan aksaranya. Sejak mentari mulai tergelincir ke barat, ia terus menyertai perjalananku menuju kota ini. Meski hanya dengan kata-kata, tapi bagiku itu sudah cukup menemani.

“Wass, Zul, makasih ya. Aku semakin tak ingin berhenti berhembus denganmu. Oleh-oleh? Pengen apa?” kukirim sms balasan dengan kembang mekar di bibir.

“Yakinlah, tautan nafas kita tidak akan cair di musim panas, tidak akan beku di musim dingin, tidak akan luntur di musim hujan, tapi akan senantiasa mekar walaupun bukan di musim bunga. Oya, oleh-olehnya cerita aja. Hadir kehangatan tiap kali aku mendengarmu bercerita. Besok jam empat sore ketemu di taman ya.”

“Sendiko dawuh, kangmas,” jawabku takzim.

Tak beberapa lama, Avanza yang terus menerobos gerimis mulai memasuki halaman rumah.




“Hai Fa, baru datang dari Jakarta ya?”tanya Nisa yang tengah membaca koran di ruang tamu. Ia sepupuku, baru datang dari Kalimantan tiga hari yang lalu.

“Iya Nis, capek banget nih. Aku masuk dulu ya,” jawabku sembari menjabat tangannya.

“Silakan, tapi jangan lupa oleh-olehnya mampir ke kamarku ya, hehehe.”

“Siiiplah!”

Kurebahkan tubuhku di atas kasur berseprai biru muda. Mataku menatap langit-langit kamar yang putih. Begitu bersih.

Perlahan kurasakan lelah dalam jiwaku. Suasana tenang. Hening. Hanya keindahan senja di luar sana yang kudapati. Di tengah lembutnya gerimis, sinar mentari yang hendak pulang ke peraduannya menyisakan cahaya-cahaya kecil keemasan.

***

Aku duduk sendiri di sudut taman kota. Beribu pasang mata di depanku seolah tak menghiraukanku. Hari mulai senja, tapi mengapa Zul tak kunjung datang? Gelisahku merayap,dan rasa takut mulai menghampiriku. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada Zul.

”Dia pasti datang,”gumamku meyakinkan diri sendiri.

Sejenak aku termenung. Lelap dalam alam lamunan.

“Mari kita pulang, sebentar lagi senja akan berganti malam,”ajak seseorang yang tiba-tiba menghampiriku. Aku tercengang, dia bukan Zul yang sedari tadi kunanti.

“Siapa kamu?” tanyaku gusar.

“Panggil saja aku Rail. Mari kita pulang, aku akan membawamu ke tempat yang lebih indah dari taman ini,” ajaknya sekali lagi.

“Tidak, aku masih ingin menunggu Zul,” tolakku dengan menggeleng kepala.

“Tiada guna kau menunggunya. Sampai kapanpun dia takkan datang!” terdengar suaranya semakin meninggi.

“Kau bohong! Zul bukan pengkhianat! Zul akan selalu berhembus bersamaku. Zul…”

Telaga mulai menggenang di sudut mataku. Perlahan embun mulai menetes di pangkuanku.

“Terserah kamu, kedatanganku hanya untuk membawamu pulang. Dan aku tak ingin,parasmu yang jelita itu tertutup gulita.”

Lalu aku di bawanya pergi meninggalkan taman. Gerimis tak kunjung reda membasahi pipiku. Benarkah yang di katakan Rail, bahwa Zul telah meninggalkanku?
Aku masih bersama Rail. Ia membawaku melewati sebuah pemakaman. Sepi yang berkekasih sunyi. Hanya terdengar sayup-sayup belaian angin senja. Berhias bunga-bunga kamboja yang berguguran melahirkan suasana syahdu.

Tapi tunggu, ada sesuatu yang menarik pandanganku pada pemakaman itu. Sebuah makam dengan batu nisan berwarna biru muda. Rasa penasaranku membuat langkahku menghampirinya. Tanahnya masih basah. Bunga-bunga yang bertaburan di atas pusaranya masih segar. Sepertinya seseorang baru saja nyekar di makam ini. Kudapati jejak-jejak manusia di sekitarnya.

“Ow…ini sebuah makam baru,”gumamku pada hati yang bertanya. Sedangkan Rail hanya membisu di sampingku. Mungkin baginya tak ada yang istimewa pada pemakaman itu.

“Makam milik siapa ini?” tanyaku padanya. Hanya senyuman yang ia berikan. Lalu aku melangkah lebih dekat, sekedar ingin membaca nama yang terukir di atas batu nisan itu.

“Hah…Tidaaakk! Ini bukan makamku, aku masih hidup!!”

Aku terperanjat hebat setelah kueja tulisan yang tertera pada batu nisan itu ternyata namaku. Tak salah lagi, tanggal lahirnya persis dengan tanggal lahirku, 21 Desember 1989. Aku masih tak percaya. Kueja kembali tulisan itu, tapi aku tak mampu. Mataku telah berembun. Penglihatanku kabur! Dan yang kulihat hanyalah warna putih.

“Benar, itu adalah makammu. Kamu telah meninggal, lusa kemarin. Sepulang dari Jakarta, ketika kamu tidur di kamarmu,” jelas Rail padaku.

“Tidak! Tidaaakk! Aku masih ingin bersama Zul,”suaraku parau.

Bintang-bintang yang kugantungkan kini gugur menghujaniku. Jalanku hitam pekat. Lilin kecil yang kujaga selama ini telah padam begitu saja. Gerimis merinai di sela hempasan duka yang menikam tanpa suara.

“Mustahi! Ragamu telah tertanam selamanya di dalam sana. Dan kau telah berbeda alam dengannya!” suara Rail geram.

Tiba-tiba semilir angin senja membawakan selembar kertas untukku, tertulis sebuah sajak di sana. Kuhapus air mata yang tersisa, lalu kuambil kertas itu. Dengan lidah kelu, kueja huruf per huruf.

Teruntuk:Embunku

Di keraguan mata kita berpeluh
Kuncup kita guruh atau lusuh
Lewat hari kita sama berikrar
Hari-hari kembang kita mekar

Jika aku luruh suatu waktu
Kau harus tetap berkuntum
Biar tanah batu bersaksi
Di sini kita pernah harum*

Biarlah orang berkata kau telah tiada, tapi bagiku hadirmu selalu nyata. Aku berjanji, namamu senantiasa menggema di sela do’a dan kerinduanku selamanya meraja.

Bongkah kaca terapung-apung di pelupuk manik mata permata. Aku telah larut dalam pusaran maha duka. Sedang jiwaku terus memanggil-manggilnya. Zul…Zul…Zul…
Sesaat kemudian terdengar seseorang menginjak dahan kering, tak jauh dari tempatku berdiri. Jalannya gontai, kakinya tertatih-tatih. Sepertinya ia sedang dirundung duka nestapa. Dari jalannya, terlihat bahwa impiannya baru saja di rampas. Tapi, sepertinya aku mengenalnya. Dan keraguanku sirna ketika kudengar ia lirih bersenandung, dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi, dan berikanlah arti pada hidupku, yang terhempas, yang terlepas, pelukanmu, bersamamu dan tanpamu aku hilang selalu.**

“Zuuul…! Kembalilah, sayang!” Teriakanku terdengar hampa dan parau.

Tapi ia tak menoleh, kakinya terus melangkah maju. Tanah yang memisahkanku dengannya semakin panjang. Inginku mengejarnya. Tapi kakiku terpaku. Ia telah membuatku bisu membatu. Tak ada sepatah katapun terucap. Hanya ada diam yang senyap.

***

Kini aku berkawan sepi. Tak tampak lagi olehku langit senja. Hanya bunga-bunga kamboja yang setia. Mungkin malam-malam nanti juga tak akan terbit purnama. Bulan murung disaput mendung.

Dan takkan pernah pula kudapati sajak-sajak Zul di ujung malam nanti. Hanya sayup suara serangga yang akan menghiburku. Hanya secerca cahaya bintang yang menerangi pusaraku. Rerumputan selamanya terlelap. Nafas yang kuhela pengap. Aku hilang harap.

Saat aku masih tergeletak seketika kurasakan guncangan hebat di sekujur tubuhku. Ada yang menggigit-gigit. Mengunyah-nguyah. Merobek-robek. Mencabik-cabik. Tapi tak sekejam itu.

Berusaha aku membuka kelopak mata yang telah lama layu. Semua terasa sakit, sakit sekali. Ketika aku mulai tersadar, sketsa sebuah wajah mulai terlukis di memoriku. Mataku belum sepenuhnya terbuka, tapi aku mulai dapat melihat.

“Nisa!”ujarku spontan ketika wajah Nisa hadir di depanku.

“Hai…hai…sadar…!!Bangun Fa, udah adzan maghrib tuh!” Nisa menyingkap selimutku. Aku hanya terdiam, menata file-file yang mulai masuk di memoriku.

“Fa…! Ayo bangun, itu ada telepon dari Zul!”

“Apa?! Zul?! Memangnya dia masih ingat sama aku? Masih sayang sama aku? Jangan bercanda kamu Nis, nggak lucu tau!” Aku kesal dan lelah.

“Lho Fa, kamu kenapa sih?! Aku serius, ini…”Nisa menyerahkan gagang telepon kepadaku.

“Assalamu’alaikum, Fa…”

Dari seberang terdengar lembut suara Zul menyeruak di gendang telingaku. Sedang memoriku masih berputar, mencari tempat yang nyaman di otakku. Kutengok keluar jendela. Malam telah menjemput senja. Pekat meraja. Aku masih setengah tak percaya.

“Halo, Fa? Kamu baik-baik saja kan?” Zul mengkhawatirkan diamku. Sapanya memecah kesunyian. Menyibak lara dengan manis suaranya.

“Iya, halo…, aku baik-baik saja kok Zul,” jawabku lirih.

“Fa, boleh aku meminta sesuatu darimu ? Permintaan ini berlaku hingga usia kita senja nanti. Bahkan, tak terbatas oleh ruang dan waktu,” suaranya bergetar, menyimpan harap yang sangat.

“Aku mohon Fa, kamu jangan pergi lagi, jangan tinggalkan aku,” pintanya kemudian padaku.

“Zul, kau masih ingat lagu ini, bukan ? Kekuatan hati yang berpegang janji, genggamlah tanganku cinta, ku tak akan pergi, meninggalkanmu sendiri, temani hatimu cinta***" Kulantunkan lagu itu, jawaban atas pintanya.

Lantas semua tenggelam dalam kehangatan. Kulihat angin dan embun kini kembali berkejaran. Bergandeng tangan, menutup senja dengan sebuah mahkota yang berkilauan.

Lorong Kecil, 12 April 2008

* Puisi Abraham Zakky Zulhazmi, dimuat di Majalah Horison, Juni 2007.
** Permintaan Hati, Letto.
*** Sebelum Cahaya, Letto.
Selengkapnya.....

mukadimah

ujarnya, tersimpan sayang berlipat-lipat di balik diamku, terangkum kasih beribu masa di dalam senyumku yang malu-malu

sapa menyapa


ShoutMix chat widget

berkejar kejaran