Economic Uutlook 2011

Optimistis ekonomi Indonesia pada 2011 akan terus ekspansif dan menguat sebagaimana diyakini oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa tak lepas dari banyak pembenahan yang harus dilakukan di beberapa sektor. Restrukturisasi industri harus menjadi prioritas utama tanpa mengesampingkan pembenahan infrastruktur karena terkait dengan rangkaian masalah ekonomi secara global dan utuh.

Faktor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya alam (SDA). Posisi SDA dalam dekade terakhir telah menjadi sumber devisa utama bagi Negara. Untuk itu, SDA dapat menjadi mesin pertumbuhan baru yang mampu menciptakan iklim ekonomi berbasis sumber daya alam sebagai kunci utamanya. Kinerja ekonomi pada wilayah-wilayah Indonesia yang mengandung SDA harus lebih terdorong dan meroket, bukan justru menjadi stimulus bagi kinerja Negara lain.

Dua faktor dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang prudent adalah mesin ekonominya (SDA) harus seimbang dan kinerja ekspor terus meningkat. Hal ini dapat diwujudkan dengan infrastruktur sebagai penghubung, restrukturisasi sektor industri dan pembenahan sektor pertanian. Terlepas dari itu semua, mengingat entrepreneurship Indonesia tumbuh sangat lambat, maka kinerja entrepreneurship harus didongkrak lagi terutama untuk menghadapi derasnya modal asing yang masuk ke Indonesia. Dalam menyikapi hal ini, modal asing yang masuk ke Indonesia harus bisa dimanfaatkan dengan baik.

Bank Syariah Tumbuh 2011
Bank Indonesia optimis perbankan syariah nasional akan terus tumbuh pada 2011. Total aset perbankan syariah saat ini Rp 86 triliun dan optimistik pada 2011 meningkat 55 persen menjadi Rp 151 triliun. Pangsa pasarnya mencapai kisaran 3,1 persen. Secara kelembagaan, jumlah perbankan syariah memiliki 11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS) dan 146 BPRS dengan jaringan kantor 1.625 unit dan terus akan mengalami pertumbuhan pada 2011.


Direktur Perbankan Syariah BI, Mulya Effendi Siregar menyebutkan lima arah kebijakan pengembangan perbankan syariah ke depan yang meliputi optimalisasi insentif fiskal bagi industri perbankan syariah, peningkatan kualitas pengawasan sumber daya manusia, peningkatan sistem pengawasan, strategi competition untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas layanan serta edukasi publik secara inovatif dan terintegrasi.
Pada 2011 investor asing siap menjadi pemain baru yang mengincar bank domestik untuk dikonversi menjadi bank syariah. Hal ini menuntut industri perbankan syariah Nasional untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan dan inovasi produk, sebab di luar Indonesia lebih canggih. Jika tidak melakukan inovasi, industri perbankan syariah hanya akan menjadi penonton di dalam negeri saja.
Selengkapnya.....

HUMANISME DI GAZA

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Darah kaum muslimin dilindungi oleh agamanya, Islam. Lalu bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita yang berada di Gaza? Mereka setiap saat diberondong dan dibombadir oleh Zionis Israel. Dalam kajian ini, penulis berupaya menyodorkan bukti bahwa Zionis Israel adalah musuh umat manusia (hostis humanis generic) dan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Karena pada dasarnya kekejaman Zionis Israel terhadap penduduk Palestina berakar pada kemanusian (humanity) bukan konflik agama semata.

Perbuatan-perbuatan Israel terhadap penduduk Palestina yang paling aktual terhadap warga Gaza sungguh sulit dinalar. Mereka sungguh kejam, keji, raja tega, biadab dan sadis. Beberapa istilah tersebut sangat tepat dilekatkan kepada Israel. Bagaimana tidak, mereka membantai masal dan memberanguskan manusia, tidak peduli kategori-kategori yang sebetulnya dilarang dan disepakati secara internasional yang juga diratifikasi atau disetujui oleh Israel sendiri. Wanita, anak kecil, tua renta, dibabat habis tanpa pandang bulu. Ada analisis yang menyebutkan bahwa tewasnya anak-anak kecil di Gaza bukan sekedar “collateral damage” atau dampak yang tidak disengaja, tetapi merupakan kesengajaan supaya anak-anak tersebut jika telah dewasa tidak melakukan pembalasan kepada Israel.

List kekejaman Israel selanjutnya adalah meluluhlantakkan rumah sakit, memberondong ambulance yang mau menjemput korban luka maupun meninggal dunia, menghancurkan lebih dari 20 masjid dan 2 sekolah milik PBB, tempat pengungsian diratakan, kantor PBB diberangus, gudang makanan pengungsi milik PBB dibakar dengan bom fosfor. Perbuatan-perbuatan tersebut masih kurang memuaskan nafsu syetan Israel.
Tidak kalah sadisnya lagi, Israel menggunakan bom fosfor putih dan Dense Inert Metal Explosive (DIME). Sebuah bom yang dilarang oleh dunia internasional dan juga disepakati oleh Israel. Bom fosfor putih dan DIME mampu membakar dan menghancurkan segala sesuatu. Jika asap bom ini mengenai manusia, maka dagingnya akan terkelupas dan tubuhnya terpotong-potong, padahal bom itu banyak dijatuhkan di area sipil. Sungguh mengerikan!!. Berbagai kecaman, kutukan, dan resolusi PBB tidak digubris, bahkan perdana menteri Israel Ehud Olmert berkata kepada PBB, “Pikirkan urusanmu sendiri!!”

Israel kental dengan sifat “narsis”, licik dan ingkar janji. Suka membanggakan diri dalam wujud komunitas Yahudi. Maka munculah sifat rasis, menganggap kelompok Yahudi sebagai manusia pilihan yang akhirnya mereka tidak menghargai kelompok lain. Wujud nyata dari sifatnya yang komunal ini adalah cita-cita mereka untuk mendirikan Negara di daerah yang dijanjikan Tuhan. Mereka menggunakan tangan presiden Harry S. Truman untuk mewujudkan Negara Israel. Waktu itu, Rabi Yahudi menghadap Truman dan mengatakan, “Tuhan telah meletakkan engkau di rahim ibumu, agar engkau menjadi alat untuk menghidupkan kembali Israel setelah 2000 tahun silam.” Akhirnya dengan adanya resolusi 181 tahun, pada tahun 1947 terbuatlah jalan bagi terbentuknya Negara Israel.

Israel telah melanggar Konvensi Geneva: ia memblokade Gaza dari bantuan pangan dan obat-obatan, sehingga menimbulkan krisis kemanusiaan di wilayah mini berpenduduk 1,5 juta jiwa itu. Semasa pemerintahan Bush, AS memberikan bantuan US$ 3 miliar per tahun kepada Israel yang diambil dari dana pajak rakyat AS. Inilah yang digunakan Israel untuk membeli jet F-16 dan helikopter tempur Apache yang dipakai untuk menggempur Gaza.

Sekarang, harapan tinggal pada presiden terpilih Barack Obama, kepala Negara satu-satunya yang mampu menghentikan kebuasan Israel yang telah melanggar semua hukum dan etika perang. Maka, kebungkaman Obama sangat aneh dan disayangkan, mengingat banyak hal yang selama ini dikomentari dengan tegas, seperti isu-isu luar negeri yang panas di Irak dan Afganistan. Tetapi dunia tentu pantas berharap agar Obama bersikap keras dan memahami bahwa yang sedang terjadi di Gaza bukanlah perang, melainkan krisis kemanusiaan. Khaybar, khaybar yâ Yahûd, Jaysu Muhammad Saufa Ya’ûd!. Selengkapnya.....

Pemintal Matahari

Penghujung tahun ini Ayah memutuskan untuk pindah ke desa sebelah setelah setahun menempati rumah di Kahuripan. Selama di Kahuripan setiap pagi sebelum ke kantor Ayah harus ngangsu ke waduk untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Dua ember di tali pada ujung-ujung sepotong bambu kemudian ia bebankan pada bahunya.
Setelah dinas pendidikan kabupaten setempat memindahtugaskan Ayah, kemudian ia memboyong kami ke rumah yang baru. Desa ini terletak di sebelah tenggara enam ratus meter dari Kahuripan. Ayah tak perlu lagi ngangsu setiap pagi, di desa ini air melimpah ruah. Petani bisa panen tiga hingga empat kali dalam setahun. Tanahnya subur. Rakyatnya makmur.
Rumahku terletak di ujung jalan menghadap ke selatan. Sebelah timur rumahku adalah sebuah rumah yang selalu terlihat sepi. Jarang tampak penghuninya. Hanya setiap pagi kulihat seorang pemuda suka berlama-lama di beranda dan kedua jongosnya, Marni dan Tejo sibuk meladeninya. Marni kukenal ketika suatu pagi kami sama-sama menyapu halaman rumah. Sedangkan Tejo aku tahu namanya dari Ayah, saat ia membantu Ayah mengangkat lemari.
Setiap pagi ketika menyapu halaman aku selalu bersama Marni. Tapi ia tak banyak bicara, hanya mengucapkan selamat pagi dan tersenyum. Selebihnya ia diam. Aku hendak menanyakan nama pemuda itu namun selalu gugur keinginanku. Pernah aku berharap Marni bercerita tentang pemuda itu tetapi harapanku kosong.
Setiap pagi pemuda itu selalu berlama-lama di beranda. Tangannya sibuk membolak-balik koran. Entah apa yang dicarinya. Sesekali ia menoleh ke arah timur. “Matahari sudahkah terbit seutuhnya atau belum?” gumamnya. Kemudian ia memanggil Marni untuk minta dibikinkan kopi. Setelah Marni membawakan secangkir kopi disusul Tejo membawa mesin ketik untuknya. Lalu jemarinya mulai sibuk menjalankan mesin ketik itu. Begitu setiap pagi hingga matahari terbit seutuhnya.
Rasa penasaranku menggelanyut pada langit hati. Tidak seperti orang-orang desa lainnya yang ramah tamah dan selalu bertegur sapa, sehingga rasa kekeluargaan sangat hangat terasa. Tetapi berbeda dengan pemuda itu, kehadiranku sebagai tetangga terdekatnya terasa sangat asing.

Suatu hari Ibu memintaku membeli bothok udang di warung nasi Mbok Darmi. Tempatnya tidak jauh dari rumahku, hanya lima puluh meter saja.
“Mbok, bothok udangnya tiga bungkus,” pintaku setibanya di warung.
“Tunggu sebentar ya, kebetulan masih dikukus Nduk. Tapi sebentar lagi mateng kok.”
“Iya, Mbok.” lantas aku keluar dan duduk di bangku depan warung.
Panas matahari mulai terasa menyengat kulit, waktunya ngaso bagi para petani. Rombongan petani tampak berduyun-duyun menuju ke warung Mbok Darmi. Suasana warung seketika menjadi ramai. Obrolan dan tawa petani berderai.
Tanpa sengaja kudengar mereka bercerita tentang tetangga terdekatku itu. Seorang pemuda yang selalu berlama-lama di beranda rumahnya setiap matahari menjelang hingga terbit seutuhnya.
“Jo, kowe ngerti pemuda aneh itu? Sejak kedatangannya ke desa kita ini sampai sekarang kok kita belum tahu namanya ya?”
“Iya, lha piye? Dia juga ndak pernah srawung sama tetangga. Sampean ketua RT seharusnya mencari tahu. Ya tho pak Dul?” orang yang ditanyanya hanya mengangguk saja.
“Sudah aku tanyakan ke Marni sama Tejo tapi mereka juga ndak tahu. Lha aneh tho? Katanya anak itu dikirim oleh orang tuanya dari kota. Ibunya minggat, Bapaknya ke luar negeri. Marni sama Tejo disuruh ngasuh anak itu.”
“Oo. . .lha apa dapat gaji tho?”
“Kata Tejo setiap bulan dapat kiriman. Pernah juga dapat telegram dari bapaknya itu.”
“Esok-esok pemuda itu duduk di beranda, kerjanya mbolak-mbalik koran thok. Koran kok ndak dibaca?” sahut yang lainnya.
“Mungkin dia ndak bisa mbaca, tapi bisa ngetik aja.”
“Oo. . lha bodho tenan. Udah besar kok ndak bisa mbaca!. Jangan-jangan ngetik aja juga ngawur!”
Lalu mereka menyruput kopi hitam dan tenggelam dalam hidangan yang mereka nikmati. Tak berselang lama Mbok Darmi menyerahkan tiga bungkus bothok udang kepadaku. Aku bergegas pulang setelah mengucapkan terima kasih kepadanya.
Sesampainya di rumah aku selalu berharap pagi lekaslah datang. Dalam malam-malam panjang aku terbayang. Mengapa dia hanya ke luar rumah bila matahari menjelang. Kemudian ia takkan tampak lagi hingga hari beranjak petang.
Setiap pagi sembari menyapu halaman, diam-diam aku mengamatinya. Tubuhnya yang gagah itu ketika membolak-balik koran, menyruput kopi, lalu jemarinya akan sibuk dengan mesin ketik menjadi keindahan yang sanggup menyita hatiku. Lambat laun aku gemar menikmatinya. Entah sejak kapan.
Ketika tubuhnya tersiram cahaya hangat, sesekali ia menoleh ke arah timur. “Matahari sudahkah terbit seutuhnya atau belum?” gumamnya. Perlahan matahari lahir seperempat, setengah, tiga perempat hingga terbit seutuhnya lantas pemuda itu menghentikan mesin ketiknya dan masuk ke dalam rumah. Begitu setiap pagi hingga matahari terbit seutuhnya.
* * *
Suatu pagi aku tak ingin menyapu halaman. Pagi-pagi buta aku telah bersiap-siap dengan secangkir kopi ditanganku lalu aku duduk di beranda. Kali ini aku hanya ingin menikmati keindahannya saja. Tapi pemuda itu belum tampak di beranda rumahnya. Ia baru keluar rumah bila cericit burung telah menggema dari pucuk-pucuk pohon bambu.
“Pelan-pelan tuan!” kudengar suara Tejo dari dalam. Kulihat langkahnya sangat hati-hati. Sebelum duduk tangannya meraba tempatnya hendak melakukan ritual pagi. Sesekali ia menoleh ke arah timur. “Matahari sudahkah terbit seutuhnya atau belum?” gumamnya. Benar-benar kuperhatikan setiap gerak gerik jemarinya menari di atas mesin ketik. Mataku tak lepas dari ingsutnya. Ia begitu indah tersiram cahaya hangat keemasan.
Jemarinya bergerak tak beraturan. Semakin cepat jemarinya menjalankan mesin ketik, semakin utuh pula matahari itu terbit. Ia cepatkan lagi jemarinya hingga keringat bercucuran dari dahinya dan semakin sempurna pula matahari itu terbit dengan emasnya.
Bulat mataku terus mengawasinya. Sungguh indah ia, seperti pemintal benang menggunakan mesin pintal. Tetapi dengan mesin ketik itu aku tak tahu ia memintal apa. Entah kata, sajak atau puisi aku tak peduli. Aku menyebutnya pemintal matahari saja.
Tak kulewatkan pagi-pagiku melainkan dengan pemintal matahari itu hingga aku tak ingin menyapu halaman lagi. Pada suatu pagi aku telah lama menunggu pemintal matahari itu keluar dari rumahnya. Hingga matahari telah terbit seutuhnya dan cahayanya meninggi ia tak tampak ada di beranda. Diam-diam rindu menghampiriku. Pikiranku resah. Hatiku gundah. Aku gelisah.
Lalu aku berjalan ke selatan hendak menuju sungai Kapas. Airnya jernih tampak putih seperti kapas. Aku berbagi kegelisahan dengan gemericik air dan kecipak ikan di sungai itu. Sesekali kulemparkan kerikil ke permukaan sungai lalu membentuk bulatan kecil kemudian membesar dan akhirnya menghilang.
“Kenapa melamun Sari?” tanya seorang perempuan yang tak kusadari kehadirannya.
“Eh, Marni!” aku kaget.
“Kenapa pagi-pagi begini ada di sini?”
“Lagi pengen nengok sungai saja. Kamu sendiri mau kemana?”
“Mau ke warung Mbok Darmi, Tejo minta dibeliin mendoan,” ia tersenyum.
“Marni ndak masak? Tumben pagi-pagi begini ndak sibuk di rumah?”
“Wong kami sekarang cuma tinggal berdua saja, tuan sudah pergi. Jadi buat apa capek-capek masak?”
“Oo. . Kalau boleh tahu tuanmu kemana?”
Marni menunduk. Aku mengangguk-angguk.
“Kalau ndak boleh tahu yo wis, Ni.”
“Maaf, tuan telah berpesan tidak boleh memberi tahu kepada siapapun tentang kepergiannya.”
“Iya, ndak pa-pa,” senyumku padanya.
Lalu Marni melangkah pergi. Aku kembali berkawan sunyi. Kutengok ke tepi hati. Gundah gulana masih meraja di sana. Hatiku tak berdusta. Aku benar merindukannya. Tak kusadari air mataku menjerit-jerit. Rongga dadaku menyempit. Jantung hatiku tehimpit. Pergilah pemintal matahari!.
* * *
Setelah pertemuanku dengan Marni di tepi sungai Kapas beberapa hari lalu, kini setiap pagi aku kembali akrab dengan sapu lidi. Tetapi tidak dengan Marni, sudah tiga hari ini ia tak tampak. Sejak kepergian pemintal matahari, Marni dan Tejo ikut menghilang. Sekarang rumah itu benar-benar sepi tak berpenghuni.
Hari ini Ayah pulang cepat, ia mendapat telegram bahwa eyang sakit dan dirawat di rumah sakit. Lalu kami segera berangkat ke kota. Rumah sakit tempat eyang dirawat berada di tengah kota dua puluh kilometer dari desa.
“Eyang sakit apa tho Yah?” tanyaku penasaran.
“Kanker prostat!” jawabnya singkat.
“Dioperasi ya?”
“Iya. Sudah jangan banyak tanya, nanti Sari lihat sendiri saja.”
Setelah angkudes yang kami tumpangi berhenti di batas kota, kemudian kami oper ke angkuta. Pemerintah setempat membuat route angkudes hanya sampai batas kota sehingga kami harus ganti angkuta untuk sampai ke rumah sakit tempat eyang dirawat.
Setelah tiba di rumah sakit dan melewati lorong panjang, kami tiba di sebuah barak yang sesak dengan bau obat yang menyengat. Rumah sakit bukanlah tempat yang hangat. Di setiap sudut kamar penuh dengan rintihan berbalut duka.
Setelah kumasuki kamar tempat eyang dirawat, kulihat wajahnya kian menua. Aku menatapnya pilu. Tak tega aku melihat eyang dililit banyak selang. Dosa apakah yang membuatnya harus menderita diusia senja?. Eyang tidak dapat kencing dengan sewajarnya. Dari ujung kelaminnya dipasang selang dan berakhir pada sebuah ember di bawah tempatnya berbaring sebagai tempat penampung air seninya. Air yang menetes dari ujung kelaminnya itu menetes setiap saat tanpa ia kehendaki. Kudengar eyang juga butuh tiga kantong darah untuk dapat melakukan operasi. Tiba-tiba perutku mual. Bau pesing dari ember di bawah ranjang tempat eyang berbaring tak dapat kutahan. Aku segera keluar dan berlari ke toilet.
“Dubb!” aku telah menabrak seseorang.
“Maaf, maaf. Aku buru-buru ke toilet, perutku mual!” aku segera minta maaf takut orang tersebut marah.
Orang yang baru saja kutabrak diam saja. Ia menatapku tanpa arti dan ekspresi. Sorot matanya sayu. Sinar mukanya layu. Bulat mataku menyisiri wajahnya. Aku pernah mengenalnya. Kupastikan sekali lagi aku tak salah orang.
“Kamu. .? Ah, aku tak tahu namamu. Tapi kau pemintal matahari itu ‘kan?!” ia diam saja tak menghiraukanku.
“Hei, kamu ndak dengar aku ngomong?! Aku minta maaf telah menabrakmu tadi.” pintaku sekali lagi. Ia membisu. Suasana beku.
“Kenalin namaku Sari, kamu?” aku mengulurkan tangan.
Lalu ia menoleh dan meraba hendak meraih tanganku. Aku tercengang!.
“Ka-mu bu-ta?!” gumamku lirih.

Sragen, 2 Februari 2010


Selengkapnya.....

mukadimah

ujarnya, tersimpan sayang berlipat-lipat di balik diamku, terangkum kasih beribu masa di dalam senyumku yang malu-malu

sapa menyapa


ShoutMix chat widget

berkejar kejaran