Solo sudah tampak di depan mata. Avanza yang kukendarai mulus melaju di tengah gerimis, menyapu debu-debu jalanan. Solo bagiku adalah kota seribu kenangan. Enam tahun sudah aku hidup di kota ini. Suka berbalur duka, cinta bertaut lara kugenggam dalam tanganku yang rapuh. Biarkan segalanya menjadi cerita di hari tua.
Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk. Langsung saja teman mungil itu kukeluarkan dari saku.
“Salam. Alhamdulillah sudah sampai di kotaku, selamat bercengkrama dengan sanak keluarga ya. Btw, bawa oleh-oleh ap nih?” sambut Zul dengan deretan aksaranya. Sejak mentari mulai tergelincir ke barat, ia terus menyertai perjalananku menuju kota ini. Meski hanya dengan kata-kata, tapi bagiku itu sudah cukup menemani.
“Wass, Zul, makasih ya. Aku semakin tak ingin berhenti berhembus denganmu. Oleh-oleh? Pengen apa?” kukirim sms balasan dengan kembang mekar di bibir.
“Yakinlah, tautan nafas kita tidak akan cair di musim panas, tidak akan beku di musim dingin, tidak akan luntur di musim hujan, tapi akan senantiasa mekar walaupun bukan di musim bunga. Oya, oleh-olehnya cerita aja. Hadir kehangatan tiap kali aku mendengarmu bercerita. Besok jam empat sore ketemu di taman ya.”
“Sendiko dawuh, kangmas,” jawabku takzim.
Tak beberapa lama, Avanza yang terus menerobos gerimis mulai memasuki halaman rumah.
“Hai Fa, baru datang dari Jakarta ya?”tanya Nisa yang tengah membaca koran di ruang tamu. Ia sepupuku, baru datang dari Kalimantan tiga hari yang lalu.
“Iya Nis, capek banget nih. Aku masuk dulu ya,” jawabku sembari menjabat tangannya.
“Silakan, tapi jangan lupa oleh-olehnya mampir ke kamarku ya, hehehe.”
“Siiiplah!”
Kurebahkan tubuhku di atas kasur berseprai biru muda. Mataku menatap langit-langit kamar yang putih. Begitu bersih.
Perlahan kurasakan lelah dalam jiwaku. Suasana tenang. Hening. Hanya keindahan senja di luar sana yang kudapati. Di tengah lembutnya gerimis, sinar mentari yang hendak pulang ke peraduannya menyisakan cahaya-cahaya kecil keemasan.
***
Aku duduk sendiri di sudut taman kota. Beribu pasang mata di depanku seolah tak menghiraukanku. Hari mulai senja, tapi mengapa Zul tak kunjung datang? Gelisahku merayap,dan rasa takut mulai menghampiriku. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada Zul.
”Dia pasti datang,”gumamku meyakinkan diri sendiri.
Sejenak aku termenung. Lelap dalam alam lamunan.
“Mari kita pulang, sebentar lagi senja akan berganti malam,”ajak seseorang yang tiba-tiba menghampiriku. Aku tercengang, dia bukan Zul yang sedari tadi kunanti.
“Siapa kamu?” tanyaku gusar.
“Panggil saja aku Rail. Mari kita pulang, aku akan membawamu ke tempat yang lebih indah dari taman ini,” ajaknya sekali lagi.
“Tidak, aku masih ingin menunggu Zul,” tolakku dengan menggeleng kepala.
“Tiada guna kau menunggunya. Sampai kapanpun dia takkan datang!” terdengar suaranya semakin meninggi.
“Kau bohong! Zul bukan pengkhianat! Zul akan selalu berhembus bersamaku. Zul…”
Telaga mulai menggenang di sudut mataku. Perlahan embun mulai menetes di pangkuanku.
“Terserah kamu, kedatanganku hanya untuk membawamu pulang. Dan aku tak ingin,parasmu yang jelita itu tertutup gulita.”
Lalu aku di bawanya pergi meninggalkan taman. Gerimis tak kunjung reda membasahi pipiku. Benarkah yang di katakan Rail, bahwa Zul telah meninggalkanku?
Aku masih bersama Rail. Ia membawaku melewati sebuah pemakaman. Sepi yang berkekasih sunyi. Hanya terdengar sayup-sayup belaian angin senja. Berhias bunga-bunga kamboja yang berguguran melahirkan suasana syahdu.
Tapi tunggu, ada sesuatu yang menarik pandanganku pada pemakaman itu. Sebuah makam dengan batu nisan berwarna biru muda. Rasa penasaranku membuat langkahku menghampirinya. Tanahnya masih basah. Bunga-bunga yang bertaburan di atas pusaranya masih segar. Sepertinya seseorang baru saja nyekar di makam ini. Kudapati jejak-jejak manusia di sekitarnya.
“Ow…ini sebuah makam baru,”gumamku pada hati yang bertanya. Sedangkan Rail hanya membisu di sampingku. Mungkin baginya tak ada yang istimewa pada pemakaman itu.
“Makam milik siapa ini?” tanyaku padanya. Hanya senyuman yang ia berikan. Lalu aku melangkah lebih dekat, sekedar ingin membaca nama yang terukir di atas batu nisan itu.
“Hah…Tidaaakk! Ini bukan makamku, aku masih hidup!!”
Aku terperanjat hebat setelah kueja tulisan yang tertera pada batu nisan itu ternyata namaku. Tak salah lagi, tanggal lahirnya persis dengan tanggal lahirku, 21 Desember 1989. Aku masih tak percaya. Kueja kembali tulisan itu, tapi aku tak mampu. Mataku telah berembun. Penglihatanku kabur! Dan yang kulihat hanyalah warna putih.
“Benar, itu adalah makammu. Kamu telah meninggal, lusa kemarin. Sepulang dari Jakarta, ketika kamu tidur di kamarmu,” jelas Rail padaku.
“Tidak! Tidaaakk! Aku masih ingin bersama Zul,”suaraku parau.
Bintang-bintang yang kugantungkan kini gugur menghujaniku. Jalanku hitam pekat. Lilin kecil yang kujaga selama ini telah padam begitu saja. Gerimis merinai di sela hempasan duka yang menikam tanpa suara.
“Mustahi! Ragamu telah tertanam selamanya di dalam sana. Dan kau telah berbeda alam dengannya!” suara Rail geram.
Tiba-tiba semilir angin senja membawakan selembar kertas untukku, tertulis sebuah sajak di sana. Kuhapus air mata yang tersisa, lalu kuambil kertas itu. Dengan lidah kelu, kueja huruf per huruf.
Teruntuk:Embunku
Di keraguan mata kita berpeluh
Kuncup kita guruh atau lusuh
Lewat hari kita sama berikrar
Hari-hari kembang kita mekar
Jika aku luruh suatu waktu
Kau harus tetap berkuntum
Biar tanah batu bersaksi
Di sini kita pernah harum*
Biarlah orang berkata kau telah tiada, tapi bagiku hadirmu selalu nyata. Aku berjanji, namamu senantiasa menggema di sela do’a dan kerinduanku selamanya meraja.
Bongkah kaca terapung-apung di pelupuk manik mata permata. Aku telah larut dalam pusaran maha duka. Sedang jiwaku terus memanggil-manggilnya. Zul…Zul…Zul…
Sesaat kemudian terdengar seseorang menginjak dahan kering, tak jauh dari tempatku berdiri. Jalannya gontai, kakinya tertatih-tatih. Sepertinya ia sedang dirundung duka nestapa. Dari jalannya, terlihat bahwa impiannya baru saja di rampas. Tapi, sepertinya aku mengenalnya. Dan keraguanku sirna ketika kudengar ia lirih bersenandung, dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi, dan berikanlah arti pada hidupku, yang terhempas, yang terlepas, pelukanmu, bersamamu dan tanpamu aku hilang selalu.**
“Zuuul…! Kembalilah, sayang!” Teriakanku terdengar hampa dan parau.
Tapi ia tak menoleh, kakinya terus melangkah maju. Tanah yang memisahkanku dengannya semakin panjang. Inginku mengejarnya. Tapi kakiku terpaku. Ia telah membuatku bisu membatu. Tak ada sepatah katapun terucap. Hanya ada diam yang senyap.
***
Kini aku berkawan sepi. Tak tampak lagi olehku langit senja. Hanya bunga-bunga kamboja yang setia. Mungkin malam-malam nanti juga tak akan terbit purnama. Bulan murung disaput mendung.
Dan takkan pernah pula kudapati sajak-sajak Zul di ujung malam nanti. Hanya sayup suara serangga yang akan menghiburku. Hanya secerca cahaya bintang yang menerangi pusaraku. Rerumputan selamanya terlelap. Nafas yang kuhela pengap. Aku hilang harap.
Saat aku masih tergeletak seketika kurasakan guncangan hebat di sekujur tubuhku. Ada yang menggigit-gigit. Mengunyah-nguyah. Merobek-robek. Mencabik-cabik. Tapi tak sekejam itu.
Berusaha aku membuka kelopak mata yang telah lama layu. Semua terasa sakit, sakit sekali. Ketika aku mulai tersadar, sketsa sebuah wajah mulai terlukis di memoriku. Mataku belum sepenuhnya terbuka, tapi aku mulai dapat melihat.
“Nisa!”ujarku spontan ketika wajah Nisa hadir di depanku.
“Hai…hai…sadar…!!Bangun Fa, udah adzan maghrib tuh!” Nisa menyingkap selimutku. Aku hanya terdiam, menata file-file yang mulai masuk di memoriku.
“Fa…! Ayo bangun, itu ada telepon dari Zul!”
“Apa?! Zul?! Memangnya dia masih ingat sama aku? Masih sayang sama aku? Jangan bercanda kamu Nis, nggak lucu tau!” Aku kesal dan lelah.
“Lho Fa, kamu kenapa sih?! Aku serius, ini…”Nisa menyerahkan gagang telepon kepadaku.
“Assalamu’alaikum, Fa…”
Dari seberang terdengar lembut suara Zul menyeruak di gendang telingaku. Sedang memoriku masih berputar, mencari tempat yang nyaman di otakku. Kutengok keluar jendela. Malam telah menjemput senja. Pekat meraja. Aku masih setengah tak percaya.
“Halo, Fa? Kamu baik-baik saja kan?” Zul mengkhawatirkan diamku. Sapanya memecah kesunyian. Menyibak lara dengan manis suaranya.
“Iya, halo…, aku baik-baik saja kok Zul,” jawabku lirih.
“Fa, boleh aku meminta sesuatu darimu ? Permintaan ini berlaku hingga usia kita senja nanti. Bahkan, tak terbatas oleh ruang dan waktu,” suaranya bergetar, menyimpan harap yang sangat.
“Aku mohon Fa, kamu jangan pergi lagi, jangan tinggalkan aku,” pintanya kemudian padaku.
“Zul, kau masih ingat lagu ini, bukan ? Kekuatan hati yang berpegang janji, genggamlah tanganku cinta, ku tak akan pergi, meninggalkanmu sendiri, temani hatimu cinta***" Kulantunkan lagu itu, jawaban atas pintanya.
Lantas semua tenggelam dalam kehangatan. Kulihat angin dan embun kini kembali berkejaran. Bergandeng tangan, menutup senja dengan sebuah mahkota yang berkilauan.
Lorong Kecil, 12 April 2008
* Puisi Abraham Zakky Zulhazmi, dimuat di Majalah Horison, Juni 2007.
** Permintaan Hati, Letto.
*** Sebelum Cahaya, Letto.
Selengkapnya.....