Dalam Sunyi Pagi

Pagi yang tersenyum. Simetris bagai bulan sabit perak. Indah merekah. Aku masih menyimpan sekotak bunga dalam hati. Meskipun negeriku sedang dilanda musibah yang tak berkesudahan. Duka–lara–derita–ronta–merana–sengsara, bak sebuah tongkat estafet yang tak kunjung menemukan garis finish sebagai titik terang. Singkat cerita, nyawa pribumi jelata yang melayang. Sementara kasta darah biru yang menisbahkan dirinya sebagai pengayom rakyat, berseri-seri selepas menyaksikan drama yang baru saja ditayangkan, negeri terluka. Mereka yang selalu necis dengan dasi, tak puas dengan lima bini, berkawan pula dengan wisky cekikikan di sudut kamar hotel-hotel pencakar langit. Miris.

Kusaksikan orang-orang desa mulai bergerak menuju pasar dan ladang-ladang mereka tempat mengais rezeki. Perekonomian mulai berdenyut. Roda kehidupan perlahan berputar. Kusapa The Forever yang terparkir di beranda rumah. Lalu aku mengayuhnya menuju ladang milik eyang di tepi desa. Terus menerobos kabut yang menggelanyut sepanjang lorong jalan desa. Angin pagi sepoi-sepoi basah agak nakal menjilati leherku. Sehingga membuatku mengangkat bahu tinggi-tinggi. Masih kutemui jejak keganasan embun tadi malam. Dedaunan menggigil karenanya. Sesampainya di ladang, kusampaikan senyum rindu padanya. Debur di hatiku menggerakkan sepasang kaki untuk segera menelusuri pematang. Padi, Jagung, dan Kedelai sudah mulai bunting. Semangka yang menjalar indah sudah tampak menyusui anaknya. Aduhai damainya hatiku memandangnya. Kulukis senyum petani, lalu kugantungkan di atas langit-langit desa.

Baru saja aku melangkah beberapa jengkal, sederet tanaman menyita perhatianku dan memaksaku menghampirinya.



“Alamak...hama macam apa pula ini?” tanyaku pada udara yang bergerak. Aku menggeleng, tak kudapati jawaban. Pandanganku disita segerombol tanaman yang layu sayu.Terdiam ia memaku.

Aku sedikit terhibur, ketika sebuah gubuk tua mampu membuka kenangan silamku. Tanpa pikir panjang kudatangi gubuk tua seusiaku itu, dengan plastik berbalut dhami usang kecoklatan sebagai atapnya. Dulu sewaktu duduk di bangku SD memang bandel. Tapi tak sampai kuraih predikat mbeling. Aku mempunyai sebuah gank, beranggotakan delapan orang cewek. Secara alami aku terpilih sebagai ketua. Tujuh tahun silam, setiap pulang dari sekolah, kami selalu naik sepeda berjajar dua-dua berbanjar panjang ke belakang. Ada satu hal yang unik, anak laki-laki tak satupun yang berani mendahului kami. Aku tak tahu mengapa. Setiap kali aku menyambar wajah mereka dengan satu kali tatapan saja, mereka serentak menunduk tanpa diberi aba-aba. Seakan-akan mereka menganggapku seperti seekor elang, yang bermata tajam dan selalu siaga menerkam anak-anak ayam. Aku tak tahu pasti. Hmm...di atas gubuk ini pula aku dan kawan-kawan bermain, bercanda, bertukar cerita, hingga belajar menghafal nama spesies ganggang hijau, jenis hibrida, Pythagoras, perjanjian Linggarjati, dan mendiskusikan galaksi Bima Sakti. Namun, semua tinggal sejarah masa kecil kami yang lugu dan harum. Kini, gubuk ini telah sepi tanpa derai tawa kami.

“Pyuk, pyek, pyik..eu..” sesayup suara menyusup dan menyesaki telingaku. Bola mataku tertuju pada satu arah di ujung ladang ini. Sepertinya sekumpulan orang sedang membicarakan masalah yang serius, pikirku. Demi memenuhi rasa penasaran yang menimbulkan banyak tanda tanya di tempurung kepala, aku melangkah mendekati mereka.

“Wilujeng enjang, Pak Dhe,” sapaku pada orang yang seumuran pamanku.

“Nggih, iki sopo?” semua orang menatapku.

“Kulo Ning, wayahipun tiyang ingkang gadhah tegalan meniko.”

“Ooo... sing kuliah neng Jakarta kae? Wis gedhe sak iki, Pak Dhe dadhi pangkling”

“Leres, Pak Dhe.”

“Berarti ngomonge nganggo boso Indonesia hehehe?” kelakarnya riang.

“Kamu cucunya Mbah Syawal tho?” sambung yang lainnya.

“Iya pakdhe. Kenapa pagi–pagi begini pada kumpul di sini?”

“Kami sedang meratapi nasib, Ning.”

“Maksud jenengan?”

“Di dusun kita ini sedang dilanda musim paceklik. Padi tak tumbuh, singkong tak berbuah, perkebunan tebu di selatan desa juga ludes di tangan tengkulak. Tak ada sepeserpun receh kami kantongi dan kami tak sudi makan batu!” nadanya sedikit meninggi. Aku tercengang.

“Semua tanaman di ladang telah musnah diamuk hama, mungkin di musim rendheng ini para petani akan gagal panen?” lanjutku kemudian. Mereka tersenyum kecut.

“Kenapa Pak Dhe-Pak Dhe tak melapor ke Kabupaten saja? Bupati kita pasti bisa membantu.”

“Kami sudah tak percaya pemerintah!”

“Kenapa begitu? Bukankah tak semua aparat itu keparat? Dan tidak semua orang yang duduk di kursi pemerintahan itu tidak menggubris keluhan pribumi. Semua itu tak seburuk yang kita angankan. Percayalah Pak Dhe, meskipun kita bukan priyayi, masih ada orang yang berhati lunak dan peduli sama kita?” bertubi-tubi aku meyakinkan mereka.

“Kamu yakin? Bersemangat sekali tampaknya kamu, Ning?” Sebuah pertanyaan yang cukup melemahkanku.

“Tapi, jika panen kali ini gagal total, bukankah lumbung desa akan kosong Pak Dhe?”

“Kamu takut kelaparan Ning?”

“Ee...”

“Lumbung desa kosong, bukan masalah besar bagi kami. Kami lebih tak senang bila pemerintah benar-benar menjalankan rencana mereka tahun ini. Kami tak sepakat kalau kita ekspor beras, selama busung lapar masih merajalela. Sebenarnya stok beras di Bulog itu melimpah. Kami tidak buta, yang bisa dikempongi begitu saja!”

Ada dada yang membara. Aku ingin berkata-kata, tapi tertahan di rongga.

“Mereka membeli hasil bumi kami dengan harga seucrit, kemudian menjualnya kembali kepada rakyat dengan harga segunung. Keringat kami hanya dibayar dengan gaplek, tiwul, dan teri busuk! Mereka punya hati, tapi mati rasa. Mereka tak mau tahu perjuangan kami melawan wereng, belalang, ulat, kepik, keong sawah, dan sundhep.”

“Tapi, kalau menurut saya dengan ekspor beras akan menambah sumber pendapatan negara lho. Nah, sebagiannya lagi akan disalurkan untuk pembangunan jalan, jembatan dan fasilitas lainnya. Jika fasilitas sudah mapan, semua akan kembali pada kita dan kita ikut menikmatinya”

“Fasilitas apa, Cah Ayu? Paling-paling kami dapat buntutnya. Dan buntut yang selama ini kami nikmati ya hanya buntut wedus, hahaha,” tawa mereka berderai memecah kesunyiaan pagi.

“Yang jelas, kami tak ingin tertawa di atas penderitaan saudara-saudara kami”

Aku menunduk, mengangguk.

“Ning, kami juga kecewa dengan penurunan harga BBM yang mepet pemilu. Kok dengan bangganya sebuah partai mengaku-aku sebagai prestasinya. Meskipun kami pribumi, tapi tidak tuli. Mbok setiap tahun saja pemilunya, biar tiap tahun turun BBM!” katanya meletup-letup.

“Kami tambah muak dengan janji yang diobral partai-partai. Katanya mau menurunkan harga BBM lebih dari tiga kali. Alah...gombalan macam apa itu?! Negeri Jiran saja bisa menurunkan BBM sepuluh kali, mengapa negara kita yang kaya minyak dan hasil tambang melimpah ruah tidak bisa melebihinya?” timpal yang lain.

“Ya sudahlah Pak Dhe, kalau semua masalah negara kita bahas satu-persatu ndak akan tuntas dengan sekali berdiri. Kita ini rakyat kecil yang hanya bisa berdoa dan berharap agar negara ini makmur sentosa. Meskipun masih banyak masalah negara yang menggantung, semisal korupsi, kasus TKI dan lainnya.”

“Lha itu dia, Ning. Kenapa masalah itu ndak pernah ada selesainya? Pemerintah seolah-olah lepas tangan. Kemudian ditutup-tutupi pakai janji-janji. Kami wong cilik ndak butuh janji, tapi bukti. Kalau mereka bisa segara memenuhi janji dan kasih bukti, kami ya tulus ngabekti sak jeroning ati.”

”Lantas besok mau nyontreng siapa, Pak Dhe?” tanyaku.

“Yang pasti kami akan nyontreng yang nggak main suap. Harga diri kami merasa diinjak-injak jika ada yang nyogok kami dengan duit untuk memilih dia. Heran juga, jumlah parpol kok sampai menjamur, coba saja kalau parpol-parpol yang baru seumur jagung itu bersatu, pasti lebih kuat.”

“Siip! Tapi memang setiap partai punya kepentingan sendiri-sendiri, terkadang manusia itu sangat ambisius. Hmm, kita kembali memikirkan ladang saja Pak Dhe, bagaimana? Eh, saya ada satu tawaran nih.”

Mereka nampak serius, mengerutkan dahi.

“Begini, kalau Pak Dhe-Pak Dhe ndak mau melapor ke Kabupaten, biar saya saja yang bilang sama abah saya. Nanti tindak lanjutnya, abah saya bersama orang-orang kampung gotong royong memberantas hama. Bagaimana Pak Dhe?” Mereka tersentak.

Lalu terjadi saling pandang di antara mereka. Seperti ada yang disembunyikan.

Sragen Asri, 9 Februari 2009

0 komentar:

mukadimah

ujarnya, tersimpan sayang berlipat-lipat di balik diamku, terangkum kasih beribu masa di dalam senyumku yang malu-malu

sapa menyapa


ShoutMix chat widget

berkejar kejaran